Pembenahan sektor ekonomi untuk menekan tingkat inflasi di Indonesia
Naiknya tingkat inflasi yang disebabkan oleh kanaikan harga BAHAN BAKAR MINYAK tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan moneter yang ketat. Tersumbatnya distribusi dan dan praktek ekonomi biaya tinggi yang walaupun tidak berhubungan langsung dengan naiknya harga bahan bakar minyak, ternyata ikut mendorong laju inflasi. Persoalan inflasi ini perlu segera di atasi.
Pakar ekonomi M Chatib Basri memprediksikan dampak dari kenaikan harga BBM terhadap laju inflasi pada 1 bulan setelah kenaikan akan sebesar 1,8% - 2,5%. Harga BBM yang dinaikkan peerintah berkisar antara 28,7% pada 24 mei 2008. Efek langsung kenaikan harga bahan bakar minyak ini akan terasa pada bulai mei dan juni 2008. "Kira-kira baru seperempat dari dampak inflasi langsung sebagai akibat dari naiknya harga BBM yang terjadi pada bulan mei. Dan tiga perempatnya akan terjadi pada bulan Juni 2008," ujar Chatib.
Chatib memperkirakan kenaikan harga BBM pada bulan juni sekitar 1,2%. Dan kanaikan harga BBM bukanlah satu-satunya pemicu naiknya inflasi. Harga bahan-bahan lain dipastikan akan naik setelah kenaikan harga BBM. Dan berdasarkan pada tingkat inflasi bulan April dan Mei 2008, arus suplai dan distribusi tidak dapat diabaikan.
Pada April 2008, kenaikan pada minyak tanah merupakan penyumbang inflasi paling tinggi, yaitu 0,29% dari total 0,57% inflasi pada bulan tersebut. Pada waktu itu, minyak tanah seharusnya dijual Rp 2.000 per liter, namun harga minyak tanah dipasar rata-rata Rp 4.467 perliter. Sedangkan pada bulan Mei 2008, dipasar harga minyak tanah diecerkan pada harga rata-rata nasional Rp 4.591 per liter, sedangkan baru pada pekan terakhir bulan tersebut Pemerintah menaikkan harga minyak tanah dari Rp 2.000 per liter menjadi Rp 2.500 per liter.
Selain itu, langkanya elpiji menunjukkan adanya masalah pada sistem suplai dan distribusi yang juga berpengaruh pada naikknya tigkat inflasi. Berdasarkan pantauan Badan Pusat Statistik (BPS), naiknya harga elpiji disebabkan oleh langkanya elpiji di pasar dan merupakan penyumbang inflasi terbesar kedua setelah premium pada bulan Mei 2008.
Menurut catatan BPS, selama bulan Mei 2008, harga rata-rata elpiji secara nasional naik dari Rp 55.000 per tabung untuk ukuran 12 kg menjadi Rp 65.000 per tabung. Langkanya elpiji dipasar ditengarai sebagai penyebab naikknya harga. Dan pada saat Pemerintah mengkampanyekan konversi minyak tanah ke gas, terjadi kelangkaan pada tabung gas ukuran 3 kg. Hal ini menyebabkan naiknya harga rata-rata tabung gas ukuran 3 kg dari Rp 15.000 menjadi Rp 17.500 per tabung. Padahal di sisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah yang didorong beralih memakai gas juga kesulitan memperoleh minyak tanah. Jumlah pasokan minyak tanah ke pasar telah dikurangi yang menyebabkan harga minyak tanah sangat mahal.
Jumlah kenaikan pengeluaran masyarakan karena harus membeli elpiji menyumbang inflasi sebesar 0,18% dari total inflasi bulan Mei 2008 sebesar 1,41%. Sementara harga beras yang naik juga menyumbang laju inflasi, walaupun lebih rendah yaitu hanya 0,13%. Naiknya harga beras yag bersamaan dengan berakhirnya masa panen harus diwaspadai. Dalam catatan BPS untuk beras kualitas medium harganya secara nasional meningkat dari Rp 6.132 per kilogram pada bulan April 2008 naik menjadi Rp 6.262 pada bulan Mei 2008. Naikknya harga beras ini terutama akan sangat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Menghadapi naiknya harga elpiji yang bersamaan dengan naiknya harga beras, program beras untuk rakyat miskin (RASKIN) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) harus dijamin tepat sasaran. BPS memperhItungkan, tingkat inflasi yang tinggi masih akan berlanjut pada bulan Juni 2008 yang mana akan lebih tinggi dari inflasi bulanan dan inflasi year on year pada mei 2008. Hal ini terjadi karena pengaruh dari naiknya harga BBM dan terlihat lebih utuh pada bulan Juni 2008.
Inflasi mengurangi daya beli masyarakat.
Laju inflasi pada bulan Januari sampai Mei 2008 telah mencapai 5,38%. Padahal, pada bulan April pemerintah masih mentargetkan tingkat inflasi sampai akhir tahun hanya berkisar di angka 6,5%.Naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat prediksi inflasi di ubah menjadi 10,9% - 11,2% pada akhir tahun 2008 ini.
Tingginya inflasi berarti mengurangi daya beli masyarakat. Nilai uang berkurang 10,38% pada bulan Mei 2008 di bandingkan pada bulan Mei 2007, karena tingkat inflasi bulan Mei 2008 terhadap Mei 2007 (year on year) terdata sebesar 10,38%. Nilai upah riil karyawan adalah salah satu gambaran melemahnya daya beli masyarakat. Dalam catatan BPS, upah nominal buruh bangunan, buruh salon, dan pembantu rumah tangga pada bulan Mei 2008 meningkat di bandingkan dengan bulan Mei 2007. Tetapi, upah riil mereka melemah.
Dan dipihak lain, di sektor keuangan dan bisnis, tingginya laju inflasi year on year mengurangi minat untuk berinvestasi. Indikator makro, seperti inflasi, sangat penting untuk menjaga kepercayaan pasar.
Menurut Chatip, para pebisnis membutuhkan kepastian bahwa otoritas moneter, yakni Bank Indonesia (BI) memiliki komitmen menahan laju inflasi. Sinyal itu tak lain adalah menaikkan tingkat suku bunga. Namun Chatip mengingatkan, kebijakan moneter yang terlalu ketat dalam situsi ekonomi seperti sekarang ini akan mematikan sektor riil. Apalagi dengan adanya krisis finansial di Amerika yang berimbas ke Eropa dan menjalar ke bursa Asia saat ini.
Kebijakan moneter yang terlalu ketat, misalnya naiknya suku bunga BI yang terlalu agresif , akan memicu dunia perbankan menaikkan suku bunga kredit. Hal ini harus di hindari, karena merupakan tekanan tambahan terhadap perekonomian riil mayarakat.
Apalagi, sektor riil sedang menghadapi penurunan permintaan pasar, baik domestik maupun mancanegara, sebagai akibat dari ambruknya perekonomian global. Sementara itu di sisi lain, terjadi kenaikan biaya pada cost produksi. Tekanan inflasi yang terjadi di dalam negeri dan menurunnya permintaan order dari pasar global yang berimbas pada melambatnya perekonomian menuntut efisiensi di sektor ekonomi, termasuk pembenahan sistem distribusi, birokrasi dan dihapuskannya praktek-praktek biaya tinggi.
"Kebijakan moneter yang terlalu ketat tidak dapat digunakan untuk melawan inflasi. Karena memang inflasi bukan bersumber dari kebijakan moneter. Jadi, pembenahan biaya tinggi ekonomi dan efisiensi arus barang harus dilakukan," ujar Chatib. Namun patut di sayangkan, ternyata untuk hal pembenahan tersebut justru terkesan stagnan. Kemajuan yang telah dicapai terlalu lambat. Padahal, pemerintah sudah beberapa kali melakukan identifikasi masalah dan rencana aksi dalam beberapa paket kebijakan.
Pembenahan yang NYATA, bukan hanya di atas kertas, terkesan ibarat mata rantai yang hilang dalam kontrol laju inflasi. Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada akhir tahun 2008 ini antara 11,5% - 12,5 %.Inflasi pada angka tersebut dapat di capai bila dampak putaran kedua dan seterusnya dari kenaikan harga Bahan Bakar MInyak dapat diredam Bank Indonesia. Jika Bank Indonesia gagal meredam laju inflasi sebagai akibat dari dampak lanjutan kenaikan harga BBM, kemungkinan inflasi bisa mencapai 12,5% pada akhir tahun 2008.
"Peran otoritas moneter adalah meredam laju inflasi yang timbul akibat adanya dampak putaran kedua dan ketiga dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Untuk putaran pertama jelas tidak dapat dihindari" ujar Gubernur Bank Indonesia, Boediono.
Dampak putaran kedua atau ketiga adalah naiknya harga berbagai komoditas sebagai dampak naiknya biaya transportasi. Tetapi kenaikan harga berbagai komoditas tersebut lebih disebabkan karena adanya ekspektasi yang tinggi dari pelaku bisnis dan masyarakat. Untuk meredamnya, Bank Indonesia akan tetap menjaga supaya likuiditas tidak berlebihan di pasar. Bank Indonesia akan menggunakan semua instrumen yang ada, diantaranya suku bunga dan operasi pasar terbuka untuk menarik likuiditas.
Tetapi, kebijakan yang diambil Bank Indonesia untuk meredam dampaknya terhaap pertumbuhan ekonomi tidak akan sama seperti tahun 2005. Hal tersebut karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak pada tahun 2005 mencapai 112%, sedangkan untuk tahun 2008 hanya 30%. Dan pada tahun 2005, naiknya harga BBM didahului oleh turunnya nilai kurs rupiah yang cukup dalam, sedangkan saat ini nilai rupiah cenderung stabil.
Untuk itu, untuk meredam laju inflasi saat ini, Bank Indonesia tidak perlu menaikkan suku bunga secara drastis seperti tahun 2005. Lebih lajut Boediono mengatakan, bahwa peredaman inflasi saat ini dilakukan secara terukur. (OSA)
Sumber referensi: Artikel yang ditulis oleh Nur Hidayati dan M Fajar Marta Pada Koran Kompas.
Pakar ekonomi M Chatib Basri memprediksikan dampak dari kenaikan harga BBM terhadap laju inflasi pada 1 bulan setelah kenaikan akan sebesar 1,8% - 2,5%. Harga BBM yang dinaikkan peerintah berkisar antara 28,7% pada 24 mei 2008. Efek langsung kenaikan harga bahan bakar minyak ini akan terasa pada bulai mei dan juni 2008. "Kira-kira baru seperempat dari dampak inflasi langsung sebagai akibat dari naiknya harga BBM yang terjadi pada bulan mei. Dan tiga perempatnya akan terjadi pada bulan Juni 2008," ujar Chatib.
Chatib memperkirakan kenaikan harga BBM pada bulan juni sekitar 1,2%. Dan kanaikan harga BBM bukanlah satu-satunya pemicu naiknya inflasi. Harga bahan-bahan lain dipastikan akan naik setelah kenaikan harga BBM. Dan berdasarkan pada tingkat inflasi bulan April dan Mei 2008, arus suplai dan distribusi tidak dapat diabaikan.
Pada April 2008, kenaikan pada minyak tanah merupakan penyumbang inflasi paling tinggi, yaitu 0,29% dari total 0,57% inflasi pada bulan tersebut. Pada waktu itu, minyak tanah seharusnya dijual Rp 2.000 per liter, namun harga minyak tanah dipasar rata-rata Rp 4.467 perliter. Sedangkan pada bulan Mei 2008, dipasar harga minyak tanah diecerkan pada harga rata-rata nasional Rp 4.591 per liter, sedangkan baru pada pekan terakhir bulan tersebut Pemerintah menaikkan harga minyak tanah dari Rp 2.000 per liter menjadi Rp 2.500 per liter.
Selain itu, langkanya elpiji menunjukkan adanya masalah pada sistem suplai dan distribusi yang juga berpengaruh pada naikknya tigkat inflasi. Berdasarkan pantauan Badan Pusat Statistik (BPS), naiknya harga elpiji disebabkan oleh langkanya elpiji di pasar dan merupakan penyumbang inflasi terbesar kedua setelah premium pada bulan Mei 2008.
Menurut catatan BPS, selama bulan Mei 2008, harga rata-rata elpiji secara nasional naik dari Rp 55.000 per tabung untuk ukuran 12 kg menjadi Rp 65.000 per tabung. Langkanya elpiji dipasar ditengarai sebagai penyebab naikknya harga. Dan pada saat Pemerintah mengkampanyekan konversi minyak tanah ke gas, terjadi kelangkaan pada tabung gas ukuran 3 kg. Hal ini menyebabkan naiknya harga rata-rata tabung gas ukuran 3 kg dari Rp 15.000 menjadi Rp 17.500 per tabung. Padahal di sisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah yang didorong beralih memakai gas juga kesulitan memperoleh minyak tanah. Jumlah pasokan minyak tanah ke pasar telah dikurangi yang menyebabkan harga minyak tanah sangat mahal.
Jumlah kenaikan pengeluaran masyarakan karena harus membeli elpiji menyumbang inflasi sebesar 0,18% dari total inflasi bulan Mei 2008 sebesar 1,41%. Sementara harga beras yang naik juga menyumbang laju inflasi, walaupun lebih rendah yaitu hanya 0,13%. Naiknya harga beras yag bersamaan dengan berakhirnya masa panen harus diwaspadai. Dalam catatan BPS untuk beras kualitas medium harganya secara nasional meningkat dari Rp 6.132 per kilogram pada bulan April 2008 naik menjadi Rp 6.262 pada bulan Mei 2008. Naikknya harga beras ini terutama akan sangat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Menghadapi naiknya harga elpiji yang bersamaan dengan naiknya harga beras, program beras untuk rakyat miskin (RASKIN) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) harus dijamin tepat sasaran. BPS memperhItungkan, tingkat inflasi yang tinggi masih akan berlanjut pada bulan Juni 2008 yang mana akan lebih tinggi dari inflasi bulanan dan inflasi year on year pada mei 2008. Hal ini terjadi karena pengaruh dari naiknya harga BBM dan terlihat lebih utuh pada bulan Juni 2008.
Inflasi mengurangi daya beli masyarakat.
Laju inflasi pada bulan Januari sampai Mei 2008 telah mencapai 5,38%. Padahal, pada bulan April pemerintah masih mentargetkan tingkat inflasi sampai akhir tahun hanya berkisar di angka 6,5%.Naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat prediksi inflasi di ubah menjadi 10,9% - 11,2% pada akhir tahun 2008 ini.
Tingginya inflasi berarti mengurangi daya beli masyarakat. Nilai uang berkurang 10,38% pada bulan Mei 2008 di bandingkan pada bulan Mei 2007, karena tingkat inflasi bulan Mei 2008 terhadap Mei 2007 (year on year) terdata sebesar 10,38%. Nilai upah riil karyawan adalah salah satu gambaran melemahnya daya beli masyarakat. Dalam catatan BPS, upah nominal buruh bangunan, buruh salon, dan pembantu rumah tangga pada bulan Mei 2008 meningkat di bandingkan dengan bulan Mei 2007. Tetapi, upah riil mereka melemah.
Dan dipihak lain, di sektor keuangan dan bisnis, tingginya laju inflasi year on year mengurangi minat untuk berinvestasi. Indikator makro, seperti inflasi, sangat penting untuk menjaga kepercayaan pasar.
Menurut Chatip, para pebisnis membutuhkan kepastian bahwa otoritas moneter, yakni Bank Indonesia (BI) memiliki komitmen menahan laju inflasi. Sinyal itu tak lain adalah menaikkan tingkat suku bunga. Namun Chatip mengingatkan, kebijakan moneter yang terlalu ketat dalam situsi ekonomi seperti sekarang ini akan mematikan sektor riil. Apalagi dengan adanya krisis finansial di Amerika yang berimbas ke Eropa dan menjalar ke bursa Asia saat ini.
Kebijakan moneter yang terlalu ketat, misalnya naiknya suku bunga BI yang terlalu agresif , akan memicu dunia perbankan menaikkan suku bunga kredit. Hal ini harus di hindari, karena merupakan tekanan tambahan terhadap perekonomian riil mayarakat.
Apalagi, sektor riil sedang menghadapi penurunan permintaan pasar, baik domestik maupun mancanegara, sebagai akibat dari ambruknya perekonomian global. Sementara itu di sisi lain, terjadi kenaikan biaya pada cost produksi. Tekanan inflasi yang terjadi di dalam negeri dan menurunnya permintaan order dari pasar global yang berimbas pada melambatnya perekonomian menuntut efisiensi di sektor ekonomi, termasuk pembenahan sistem distribusi, birokrasi dan dihapuskannya praktek-praktek biaya tinggi.
"Kebijakan moneter yang terlalu ketat tidak dapat digunakan untuk melawan inflasi. Karena memang inflasi bukan bersumber dari kebijakan moneter. Jadi, pembenahan biaya tinggi ekonomi dan efisiensi arus barang harus dilakukan," ujar Chatib. Namun patut di sayangkan, ternyata untuk hal pembenahan tersebut justru terkesan stagnan. Kemajuan yang telah dicapai terlalu lambat. Padahal, pemerintah sudah beberapa kali melakukan identifikasi masalah dan rencana aksi dalam beberapa paket kebijakan.
Pembenahan yang NYATA, bukan hanya di atas kertas, terkesan ibarat mata rantai yang hilang dalam kontrol laju inflasi. Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada akhir tahun 2008 ini antara 11,5% - 12,5 %.Inflasi pada angka tersebut dapat di capai bila dampak putaran kedua dan seterusnya dari kenaikan harga Bahan Bakar MInyak dapat diredam Bank Indonesia. Jika Bank Indonesia gagal meredam laju inflasi sebagai akibat dari dampak lanjutan kenaikan harga BBM, kemungkinan inflasi bisa mencapai 12,5% pada akhir tahun 2008.
"Peran otoritas moneter adalah meredam laju inflasi yang timbul akibat adanya dampak putaran kedua dan ketiga dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Untuk putaran pertama jelas tidak dapat dihindari" ujar Gubernur Bank Indonesia, Boediono.
Dampak putaran kedua atau ketiga adalah naiknya harga berbagai komoditas sebagai dampak naiknya biaya transportasi. Tetapi kenaikan harga berbagai komoditas tersebut lebih disebabkan karena adanya ekspektasi yang tinggi dari pelaku bisnis dan masyarakat. Untuk meredamnya, Bank Indonesia akan tetap menjaga supaya likuiditas tidak berlebihan di pasar. Bank Indonesia akan menggunakan semua instrumen yang ada, diantaranya suku bunga dan operasi pasar terbuka untuk menarik likuiditas.
Tetapi, kebijakan yang diambil Bank Indonesia untuk meredam dampaknya terhaap pertumbuhan ekonomi tidak akan sama seperti tahun 2005. Hal tersebut karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak pada tahun 2005 mencapai 112%, sedangkan untuk tahun 2008 hanya 30%. Dan pada tahun 2005, naiknya harga BBM didahului oleh turunnya nilai kurs rupiah yang cukup dalam, sedangkan saat ini nilai rupiah cenderung stabil.
Untuk itu, untuk meredam laju inflasi saat ini, Bank Indonesia tidak perlu menaikkan suku bunga secara drastis seperti tahun 2005. Lebih lajut Boediono mengatakan, bahwa peredaman inflasi saat ini dilakukan secara terukur. (OSA)
Sumber referensi: Artikel yang ditulis oleh Nur Hidayati dan M Fajar Marta Pada Koran Kompas.
0 Response to "Pembenahan sektor ekonomi untuk menekan tingkat inflasi di Indonesia"
Posting Komentar