Hak-hak Pekerja Sesuai Perundang-undangan yang Berlaku (bagian 2)

Baca artikel sebelumnya di sini:
Hak-hak Pekerja Sesuai Perundang-undangan yang Berlaku (bagian 1)


4. Ketentuan Perpanjangan atau Pembaruan PKWT

Biasanya, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) lebih dikenal dengan istilah sistem kerja kontrak, dan pekerja memiliki status sebagai pekerja kontrak.

Ketentuan dari perpanjangan PKWT itu sendiri mesti sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan atau lebih tepatnya Pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, yaitu hanya boleh dilakukan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Apabila Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibuat melebihi batas waktu yang telah ditentukan, maka demi hukum perjanjiannya menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), atau dengan kata lain status karyawan tersebut menjadi karyawan tetap atau permanen.

Pembaharuan PKWT dilakukan berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, dan pekerjaan tersebut dalam kondisi belum bisa diselesaikan.

Pembaruan PKWT hanya bisa dilakukan sesudah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya PKWT. Dan hanya boleh dilakukan 1 kali serta paling lama 2 tahun.


5. Faktor-faktor yang Menentukan Besar Kecilnya Gaji Pegawai

Sebelum Anda berpikir tentang kesenjangan atau diskriminasi gaji di tempat Anda sekarang bekerja, sebaiknya coba Anda lihat faktor apa saja yang menentukan besar kecilnya gaji seorang pegawai.

Ada beberapa ketentuan dalam pengupahan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan.

Pada suatu perusahaan, besar-kecilnya upah tidak dapat dilihat atau diukur hanya dari satu aspek saja. Berikut ini adalah beberapa faktor yang menentukan besar-kecilnya upah pegawai:
1. Faktor lamanya masa kerja atas dasar pengalaman kerja, tentunya ini mempengaruhi perkembangan kemampuan kerja secara empiris.
2. Faktor Profesionalisme, berkaitan dengan tingkat produktivitas atau kinerja seorang pekerja.
3. Faktor volume dan beban kerja atau tinggi-rendahnya risiko dari suatu pekerjaan.


6. Hak Karyawan Tentang Penempatan Kerja (Mutasi)

Suatu ketika mungkin Anda pernah bimbang karena dihadapkan dengan kondisi untuk memilih antara karir atau keluarga ketika ada perintah penempatan kerja di luar kota atau luar negeri oleh perusahaan.

Pada hakikatnya, penempatan kerja harus dilakukan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif dan adil, serta kesetaraan tanpa adanya diskriminasi.

Lalu, apakah boleh ketika seorang pekerja menolak dimutasi?

Boleh tidaknya seorang karyawan menolak untuk dimutasi tentu kembali lagi pada ketentuan dalam Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja Anda dengan perusahaan tempat Anda bekerja.

Bila menolak mutasi masuk dalam kategori pelanggaran atau penolakan atas “perintah kerja”, atau melanggar perjanjian kerja, maka konsekuensinya adalah Anda harus mematuhi kebijakan perusahaan tersebut.

Sebab, bila tidak maka Anda akan dianggap melanggar peraturan perusahaan atau perjanjian kerja yang nantinya perusahaan berhak menggugatnya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Kendati demikian, penempatan (mutasi) tenaga kerja juga harus memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, maupun perlindungan hukum seorang pekerja.

Perusahaan juga tidak bisa semena-mena, sebaiknya juga memperhatikan kondisi pekerja yang akan dimutasi, termasuk kondisi keluarga si pekerja.

Jadi, sebenarnya boleh saja Anda menyampaikan keberatan terhadap penempatan kerja (mutasi) yang dilakukan perusahaan, namun tentu saja secara baik-baik dan disertai dengan alasan yang logis agar perusahaan nantinya akan mempertimbangkan kembali “keberatan” atas penempatan kerja yang dilakukan terhadap pekerjanya.


7. Tidak Ada Istilah Uang Pesangon Bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri

Perlu diketahui, bahwa dalam UU Ketenagakerjaan, tidak ada aturan yang menyangkut “hak pesangon” bagi pekerja atau buruh yang mengundurkan diri secara sukarela.

Tetapi, karyawan yang mengundurkan diri karena kemauan sendiri (resign) berhak atas Uang Penggantian Hak (UPH) sebagaimana telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 4.

Selain itu, berdasarkan UU Ketenagakerjaan pasal 162 ayat 2, khusus untuk karyawan yang memiliki tugas dan fungsi tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung atau istilahnya non-management committee, berhak memperoleh Uang Pisah yang nilai dan pelaksanaan pemberiannya, menjadi kewenangan para pihak (domain) untuk memperjanjikannya dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan.

Baca lanjutannya di sini:
Hak-hak Pekerja Sesuai Perundang-undangan yang Berlaku (bagian 3)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hak-hak Pekerja Sesuai Perundang-undangan yang Berlaku (bagian 2)"

Posting Komentar