Perlukah Ibukota Indonesia Dipindahkan Dari Jakarta?
Sejak masa Kepresidenan Soekarno, usulan pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke lokasi lainnya telah menjadi wacana yang didiskusikan dengan panjang.
Bahkan, kala pemerintahan kolonial Belanda, ada upaya yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan lokasi Ibu Kota dari Batavia (Jakarta) ke Bandung, namun gagal disebabkan adanya Perang Dunia II dan Depresi Besar Internasional saat itu.
Baca juga: Ketimpangan Antara Singapura, Jakarta dan Ho Chi Minh
Perdebatan pun terus berlanjut hingga 2010, pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu Presiden Yudhoyono mendukung ide untuk pembentukan ibu kota baru yang dipisah dari pusat ekonomi dan komersial Negara.
Ibu Kota baru tersebut nantinya akan menjadi pusat politik dan administrasi Indonesia yang baru. Hal ini memang cukup berasalan melihat kondisi Jakarta dengan masalah overpopulasi dan masalah lingkungan yang hingga saat ini belum juga ada perbaikan yang signifikan.
Jadi, dalam rencana tersebut ada tiga pendapat utama:
Pertama, pemindahan ibu kota resmi Negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Brazil dengan memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Kedua, Jakarta masih tetap menjadi Ibu Kota resmi Negara, namun harus ada pemindahan pusat administratif pemerintahan.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Malaysia dengan memindahkan pusat administratif pemerintahan federalnya ke Putrajaya.
Ketiga, Jakarta tetap menjadi Ibu Kota dan Pusat Administrasi Pemerintahan. Dari rencana tersebut, banyak dari pakar yang kemudian bersuara mengemukakan pendapatnya.
Dukungan Terhadap Pemindahan Ibukota
Menurut dosen fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, Ibukota memang perlu dipindahkan, sebab daya dukung Pulau Jawa khususnya Jakarta dan daerah sekitarnya sudah tak memadai lagi untuk Ibukota.
Andrinof menyatakan, dalam jangka waktu 20 tahun lagi, Jakarta akan mengalami ledakan sosial. Di antaranya yaitu kesenjangan sosial yang kian tajam, tingginya angka kriminalitas, menurunnya taraf kesehatan masyarakat, dan meningkatnya gangguan jiwa.
Jadi menurut Andrinof, bila tidak ada keputusan politik untuk memindahkan Ibukota, maka ledakan sosial seperti yang terjadi pada Mei 1998 akan mungkin terjadi kembali. Solusinya ialah Ibukota harus segera dipindahkan ke sebuah kota baru di Kalimantan.
Sementara itu, menurut Yayat Supriyatna yang merupakan Planolog dari Universitas Trisakti juga mendukung upaya pemindahan Ibukota dari Jakarta.
Menurut Yayat, untuk menjadi Ibukota dengan skala sebesar saat ini, Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang.
Dari awalnya sekadar kota perdagangan di masa lampau, selanjutnya harus menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar seperti sekarang ini, fungsi dan perannya menjadi tidak jelas.
Paradigma pemerintahan Orde Baru yang sentralistis juga menambah beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan.
Rancangan pembangunan yang dilakukan di Jakarta menjadi bias sehingga menjadi daya tarik yang besar para kaum Urban.
Akhrinya, semua hanya terfokus pada pengembangan Jakarta saja, dan pengembangan daerah-daerah lain pun menjadi tidak terpikirkan.
Beban yang terlalu berlebihan itu pun beberapa dekade belakangan ini barulah dapat dirasakan. Kemacetan, kekurangan air bersih, banjir, dan polusi menjadi masalah berkepanjangan di Jakarta.
Menurut Yayat, jumlah penduduk yang ideal di Jakarta itu harus setengahnya dari jumlah sekarang, atau sekitar 4 hingga 5 juta jiwa saja.
Solusinya, Ibukota Pemerintahan harus dipindahkan, namun bukan dengan membangun kota baru, karena membutuhkan dana yang besar dan waktu yang panjang.
Jakarta tetap menjadi Ibukota Negara, tapi pusat pemerintahan mulai diredistribusikan ke daerah lain, seperti karawang, atau bahkan daerah di Kalimantan.
Sedangkan menurut Pakar demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry B. Harmadi, pemindahan Ibukota ke luar Jakarta atau bahkan keluar Jawa memang perlu dilakukan.
Padatnya penduduk dan aktivitas terpusat yang terus meningkat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi membuat daerah ini tak ideal lagi sebagai Ibukota Republik Indonesia.
Jabodetabek, dan seluruh Jawa sudah sangat penuh akan populasi. Sekitar 55 % penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan Pulau Jawa secara wilayah sudah terlalu penuh apalagi melihat pertumbuhan jumlah penduduk yang luar biasa di Jawa.
Sonny menilai, bila sebaiknya Ibukota memang dipindahkan di luar Pulau Jawa, karena kota di luar Jawa lebih ideal sebagai Ibukota baru Republik Indonesia.
Tata Mutasya, peraih master di bidang manajemen pembangunan dari Universitas Turin, Italia, juga mendukung dilakukannya pemindahan Ibukota sebagai strategi untuk pemerataan pembangunan.
Sentralisasi pembangunan di Jawa khususnya Jakarta yang memang telah terjadi sejak zaman kolonial, perlu dilakukan pendobrakan.
Sama seperti yang lainnya, M Jehansyah Siregar, alumni Institut Teknologi Bandung yang memperoleh gelar Doktor di bidang perencanaan kota dari Universitas Tokyo ini mendukung dilakukannya pemindahan Ibukota.
Namun, pemindahan tersebut harus memiliki visi yang kuat, disertai dengan regulasi yang kuat pula atau selevel dengan Undang-Undang.
Jehan juga menambahkan bahwa untuk membangun Ibukota baru, pemerintah tidak perlu membuka lahan baru.
Cukup dengan melanjutkan pembangunan kota yang telah ada. Berdasarkan berbagao kajian yang dilakukan, beberapa kota di Kalimantan nampaknya telah siap secara infrastruktur.
Di samping itu, secara geografis, Kalimantan juga jauh dari pusat gempa dan gunung berapi. Kebijakan memindahkan Ibukota perlu segera direalisasikan agar Indonesia tidak tertinggal dari Negara lain, khususnya Negara-negara ASEAN.
Memindahkan Ibukota Bukan Solusi Terbaik
Di lain pihak ada juga beberapa pakar yang menilai bahwa Ibukota tidak perlu dipindahkan dari Jakarta, karena hal itu tidak serta merta memecahkan masalah, bahkan malah bisa menimbulkan masalah baru.
Seperti yang dikemukakan oleh Marvo Kusumawijaya, Direktur Rujak Center for Urban Studies. Pendapat dari arsitek yang kerap dimintai pendapatnya soal tata kota ini mengungkapkan bahwa pemindahan Ibukota dari Jakarta belumlah perlu dilakukan.
Untuk mengatasi berbagai masalah yang ada di Jakarta demi mewujudkan pemerintahan nasional yang dapat berfungsi dengan baik, sebenarnya bisa dilakukan dengan cost yang lebih kecil ketimbang Negara harus memindahkan Ibukota ke daerah lain.
Intinya adalah bagaimana mengelola kepadatan Jakarta. Kita lihat saja Tokyo, Jakarta tidak lebih padat dari Ibukota Jepang tersebut.
Namun Tokyo terbukti berhasil mengelola lalu lintasnya sehingga tidak seruwet Jakarta seperti sekarang ini.
Menurut Marco, Jepang juga merupakan salah satu Negara terpadat di dunia, namun mengapa justru Jepang bisa menjadi Negara dengan tutupan hutan yang paling besar pula persentasenya di dunia?
Ketidaksetujuan terhadap pemindahan Ibukota juga disikapi oleh Planolog Institut Teknologi Bandung.
Ia menilai bahwa jika hanya berdasarkan faktor Jakarta yang macet, semrawut dan overpopulasi saja, maka tidak perlu dilakukan pemindahan Ibukota.
Sebab, segala masalah yang ada di Jakarta saat ini tidak akan serta merta teratasi dengan memindahkan Ibukota.
Menurutnya, bila alasannya hanya masalah kemacetan, itu hanya emosional saja, jangka pendek dan tidak dibenarkan untuk memindahkan Ibukota.
Ada solusi yang lebih murah ketimbang harus memindahkan Ibukota ke daerah lain, yaitu manajemen transportasi massal yang baik, dan kebijakan untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi atau menaikkan tarif parkir.
Apabila transportasi massal telah berjalan dengan baik dan optimal, dan disertai pula pembatasan kendaraan pribadi, maka kemacetan dapat berkurang dan polusi pun juga akan semakin berkurang. Hal ini juga banyak kok diterapkan oleh Negara-negara lain, seperti Singapura.
Lalu bagaimana dengan pendapat Anda?
Sumber:
http://www.kaskus.co.id/thread/5566af925a5163e9788b456e/jika-ibukota-indonesia-dipindahkan-agan-pilih-dipindahkan-kemana-polling
Bahkan, kala pemerintahan kolonial Belanda, ada upaya yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan lokasi Ibu Kota dari Batavia (Jakarta) ke Bandung, namun gagal disebabkan adanya Perang Dunia II dan Depresi Besar Internasional saat itu.
Baca juga: Ketimpangan Antara Singapura, Jakarta dan Ho Chi Minh
Perdebatan pun terus berlanjut hingga 2010, pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu Presiden Yudhoyono mendukung ide untuk pembentukan ibu kota baru yang dipisah dari pusat ekonomi dan komersial Negara.
Ibu Kota baru tersebut nantinya akan menjadi pusat politik dan administrasi Indonesia yang baru. Hal ini memang cukup berasalan melihat kondisi Jakarta dengan masalah overpopulasi dan masalah lingkungan yang hingga saat ini belum juga ada perbaikan yang signifikan.
Jadi, dalam rencana tersebut ada tiga pendapat utama:
Pertama, pemindahan ibu kota resmi Negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Brazil dengan memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Kedua, Jakarta masih tetap menjadi Ibu Kota resmi Negara, namun harus ada pemindahan pusat administratif pemerintahan.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Malaysia dengan memindahkan pusat administratif pemerintahan federalnya ke Putrajaya.
Ketiga, Jakarta tetap menjadi Ibu Kota dan Pusat Administrasi Pemerintahan. Dari rencana tersebut, banyak dari pakar yang kemudian bersuara mengemukakan pendapatnya.
Dukungan Terhadap Pemindahan Ibukota
Menurut dosen fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, Ibukota memang perlu dipindahkan, sebab daya dukung Pulau Jawa khususnya Jakarta dan daerah sekitarnya sudah tak memadai lagi untuk Ibukota.
Andrinof menyatakan, dalam jangka waktu 20 tahun lagi, Jakarta akan mengalami ledakan sosial. Di antaranya yaitu kesenjangan sosial yang kian tajam, tingginya angka kriminalitas, menurunnya taraf kesehatan masyarakat, dan meningkatnya gangguan jiwa.
Jadi menurut Andrinof, bila tidak ada keputusan politik untuk memindahkan Ibukota, maka ledakan sosial seperti yang terjadi pada Mei 1998 akan mungkin terjadi kembali. Solusinya ialah Ibukota harus segera dipindahkan ke sebuah kota baru di Kalimantan.
Sementara itu, menurut Yayat Supriyatna yang merupakan Planolog dari Universitas Trisakti juga mendukung upaya pemindahan Ibukota dari Jakarta.
Menurut Yayat, untuk menjadi Ibukota dengan skala sebesar saat ini, Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang.
Dari awalnya sekadar kota perdagangan di masa lampau, selanjutnya harus menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar seperti sekarang ini, fungsi dan perannya menjadi tidak jelas.
Paradigma pemerintahan Orde Baru yang sentralistis juga menambah beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan.
Rancangan pembangunan yang dilakukan di Jakarta menjadi bias sehingga menjadi daya tarik yang besar para kaum Urban.
Akhrinya, semua hanya terfokus pada pengembangan Jakarta saja, dan pengembangan daerah-daerah lain pun menjadi tidak terpikirkan.
Beban yang terlalu berlebihan itu pun beberapa dekade belakangan ini barulah dapat dirasakan. Kemacetan, kekurangan air bersih, banjir, dan polusi menjadi masalah berkepanjangan di Jakarta.
Menurut Yayat, jumlah penduduk yang ideal di Jakarta itu harus setengahnya dari jumlah sekarang, atau sekitar 4 hingga 5 juta jiwa saja.
Solusinya, Ibukota Pemerintahan harus dipindahkan, namun bukan dengan membangun kota baru, karena membutuhkan dana yang besar dan waktu yang panjang.
Jakarta tetap menjadi Ibukota Negara, tapi pusat pemerintahan mulai diredistribusikan ke daerah lain, seperti karawang, atau bahkan daerah di Kalimantan.
Sedangkan menurut Pakar demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry B. Harmadi, pemindahan Ibukota ke luar Jakarta atau bahkan keluar Jawa memang perlu dilakukan.
Padatnya penduduk dan aktivitas terpusat yang terus meningkat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi membuat daerah ini tak ideal lagi sebagai Ibukota Republik Indonesia.
Jabodetabek, dan seluruh Jawa sudah sangat penuh akan populasi. Sekitar 55 % penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan Pulau Jawa secara wilayah sudah terlalu penuh apalagi melihat pertumbuhan jumlah penduduk yang luar biasa di Jawa.
Sonny menilai, bila sebaiknya Ibukota memang dipindahkan di luar Pulau Jawa, karena kota di luar Jawa lebih ideal sebagai Ibukota baru Republik Indonesia.
Tata Mutasya, peraih master di bidang manajemen pembangunan dari Universitas Turin, Italia, juga mendukung dilakukannya pemindahan Ibukota sebagai strategi untuk pemerataan pembangunan.
Sentralisasi pembangunan di Jawa khususnya Jakarta yang memang telah terjadi sejak zaman kolonial, perlu dilakukan pendobrakan.
Sama seperti yang lainnya, M Jehansyah Siregar, alumni Institut Teknologi Bandung yang memperoleh gelar Doktor di bidang perencanaan kota dari Universitas Tokyo ini mendukung dilakukannya pemindahan Ibukota.
Namun, pemindahan tersebut harus memiliki visi yang kuat, disertai dengan regulasi yang kuat pula atau selevel dengan Undang-Undang.
Jehan juga menambahkan bahwa untuk membangun Ibukota baru, pemerintah tidak perlu membuka lahan baru.
Cukup dengan melanjutkan pembangunan kota yang telah ada. Berdasarkan berbagao kajian yang dilakukan, beberapa kota di Kalimantan nampaknya telah siap secara infrastruktur.
Di samping itu, secara geografis, Kalimantan juga jauh dari pusat gempa dan gunung berapi. Kebijakan memindahkan Ibukota perlu segera direalisasikan agar Indonesia tidak tertinggal dari Negara lain, khususnya Negara-negara ASEAN.
Memindahkan Ibukota Bukan Solusi Terbaik
Di lain pihak ada juga beberapa pakar yang menilai bahwa Ibukota tidak perlu dipindahkan dari Jakarta, karena hal itu tidak serta merta memecahkan masalah, bahkan malah bisa menimbulkan masalah baru.
Seperti yang dikemukakan oleh Marvo Kusumawijaya, Direktur Rujak Center for Urban Studies. Pendapat dari arsitek yang kerap dimintai pendapatnya soal tata kota ini mengungkapkan bahwa pemindahan Ibukota dari Jakarta belumlah perlu dilakukan.
Untuk mengatasi berbagai masalah yang ada di Jakarta demi mewujudkan pemerintahan nasional yang dapat berfungsi dengan baik, sebenarnya bisa dilakukan dengan cost yang lebih kecil ketimbang Negara harus memindahkan Ibukota ke daerah lain.
Intinya adalah bagaimana mengelola kepadatan Jakarta. Kita lihat saja Tokyo, Jakarta tidak lebih padat dari Ibukota Jepang tersebut.
Namun Tokyo terbukti berhasil mengelola lalu lintasnya sehingga tidak seruwet Jakarta seperti sekarang ini.
Menurut Marco, Jepang juga merupakan salah satu Negara terpadat di dunia, namun mengapa justru Jepang bisa menjadi Negara dengan tutupan hutan yang paling besar pula persentasenya di dunia?
Ketidaksetujuan terhadap pemindahan Ibukota juga disikapi oleh Planolog Institut Teknologi Bandung.
Ia menilai bahwa jika hanya berdasarkan faktor Jakarta yang macet, semrawut dan overpopulasi saja, maka tidak perlu dilakukan pemindahan Ibukota.
Sebab, segala masalah yang ada di Jakarta saat ini tidak akan serta merta teratasi dengan memindahkan Ibukota.
Menurutnya, bila alasannya hanya masalah kemacetan, itu hanya emosional saja, jangka pendek dan tidak dibenarkan untuk memindahkan Ibukota.
Ada solusi yang lebih murah ketimbang harus memindahkan Ibukota ke daerah lain, yaitu manajemen transportasi massal yang baik, dan kebijakan untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi atau menaikkan tarif parkir.
Apabila transportasi massal telah berjalan dengan baik dan optimal, dan disertai pula pembatasan kendaraan pribadi, maka kemacetan dapat berkurang dan polusi pun juga akan semakin berkurang. Hal ini juga banyak kok diterapkan oleh Negara-negara lain, seperti Singapura.
Lalu bagaimana dengan pendapat Anda?
Sumber:
http://www.kaskus.co.id/thread/5566af925a5163e9788b456e/jika-ibukota-indonesia-dipindahkan-agan-pilih-dipindahkan-kemana-polling
0 Response to "Perlukah Ibukota Indonesia Dipindahkan Dari Jakarta?"
Posting Komentar