Beberapa Kelemahan Budaya Pendidikan Yang Membuat Masyarakat Sulit Berkembang

Beberapa Kelemahan Budaya Pendidikan Yang Membuat Masyarakat Sulit Berkembang
Ilustrasi:
belajarpsikologi.com
Posting kami kali ini terinspirasi dari salah satu thread di Kaskus yang isinya sangat bagus dan menginspirasi.

Dalam thread tersebut mengajak kita melihat bagaimana sistem pendidikan di Indonesia ternyata memiliki beberapa kelemahan yang berakibat pada sulitnya masyarakat kita untuk bisa membangun Negara ini menjadi lebih maju dan berkembang.

Beberapa pemikiran penting yang sangat bagus dan juga ikut membuka pikiran kita sehingga akan lebih menyadari betapa penting arti pendidikan bagi pembangunan manusia baik secara individu maupun bagi pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya.


1. Terlalu Fokus Pada Sistem dan Hasil

Di Negara kita, pada umumnya orang sudah terbiasa melewati jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA/SMK, dan Perguruan Tinggi, dengan tujuan hanya berharap dapat bekerja dengan posisi dan penghasilan yang layak.

Simak juga: 5 Alasan yang Mengharuskan Kamu Tidak Berhenti Kuliah Di Tengah Jalan

Dari sini kita menjadi terbiasa dengan budaya pendidikan yang hanya berfokus pada hasil dari setiap jenjang pendidikan yang dilewati, yaitu kelulusan, nilai tinggi, gelar, dan gaji.

Namun, coba kita cermati apakah dari sisi pengembangan diri para murid atau mahasiswa secara luas mengalami banyak perubahan? Jawabannya, perubahan memang terjadi tapi sangat sedikit bahkan cenderung stagnan.

Bisa dikatakan, hal inilah yang terkadang membuat kita sebagai lulusan sekolah tidak memiliki nilai lebih dan tidak ada perbedaan dengan para lulusan sekolah lainnya.

Berbeda dengan mereka yang benar-benar belajar untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya dari bangku sekolah, berani mencoba sesuatu yang baru, berinovasi dan menciptakan sebuah karya.

Mayoritas kita masih terlalu berfokus pada hasil dan hanya menjalani sistem sebagai syarat dari pencapaian tujuannya yaitu kelulusan semata.

Sehingga mengabaikan bagaimana jalannya proses dalam pencapaian tujuan tersebut berlangsung, padahal ada banyak hikmah dan manfaat yang bisa didapat dari jatuh-bangunnya proses yang kita jalani dengan susah payah tersebut.

“Hasil” memang penting, tapi proses dan hasil merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Jadikan proses yang kita jalani sebagai pembelajaran penting dalam pengembangan softskill maupun hardskill yang nantinya akan berguna ketika terjun di lingkungan masyarakat, sedangkan hasil adalah bagian dari target kita untuk melangkah ke level yang lebih baik di atasnya.


2. Tujuan Pendidikan Hanya Untuk Mencetak Para Pekerja Pencari Uang

Dalam masyarakat yang menempuh pendidikan di Indonesia, terdapat dua tipe pelajar/mahasiswa yang bisa kita kelompokkan secara umum.

Pertama, mereka yang menempuh pendidikan hanya ingin meraih ijazah atau gelar yang tinggi, sehingga nantinya bisa diterima bekerja di perusahaan yang diharapkan dan menghasilkan uang yang lebih banyak.

Kemudian tipe yang kedua ialah mereka yang menempuh pendidikan karena memang ingin menyalurkan minat, bakat, dan kemampuannya sehingga nantinya bisa berguna untuk lingkungan, dan berkontribusi untuk masyarakat dengan ilmu yang telah diperoleh melalui pendidikan yang telah dijalaninya.

Tipe yang pertama nampaknya lebih dominan dan menjadi mayoritas dalam mengisi bangku-bangku sekolah maupun perguruan tinggi di Indonesia.

Jujurlah pada diri Anda sendiri, selama ini apa yang Anda harapkan dari perjalanan Anda di dunia pendidikan? Tak lain hanya ingin nantinya menjadi pekerja yang bisa menghasilkan uang bukan?

Adakah salah satu dari Anda yang memang percaya bahwa ilmu itu dipelajari bukan hanya untuk mencari uang, tetapi juga menjadi hal yang baik dan dapat berguna bagi lingkungan masyarakat di sekitar Anda?

Itulah mengapa sekarang ini banyak sekali orang yang melakukan sesuatu hanya berorientasi pada UANG.

Bahkan, seakan tidak peduli kalaupun apa yang mereka kerjakan tersebut memberi dampak buruk bagi lingkungan (alam dan masyarakat) asalkan dirinya bisa menghasilkan keuntungan dari apa yang dikerjakannya tersebut.


3. Kegagalan Adalah Hal Yang Sangat Tabu

Tak ada orang yang ingin “GAGAL”, semua orang pasti akan memilih cara apapun untuk dapat “BERHASIL”.

Kami yakin, banyak dari Anda pasti pernah mencotek saat ujian karena takut mengalami kegagalan dan mendapatkan nilai buruk.

Di sisi lain, banyak orang yang cenderung mengikuti arus dan menghindar dari perbedaan karena takut akan mengalami kegagalan.

Ada ketakutan dalam diri seseorang untuk menjadi berbeda atau melawan arus, karena nantinya ia hanya akan terlihat bodoh dan akan menjadi cemoohan orang ketika mengalami kegagalan. “Budaya berani menghadapi kegagalan” memang masih sangat tabu di masyarakat kita.

Banyak orang menganggap lebih baik memilih jadi pengikut yang damai dan menyatu dengan sesama pengikut arus yang lain, daripada sendirian melawan arus dan akan terlihat bodoh atau terkucilkan dari suatu komunitas.

Dampaknya, sama seperti budaya korupsi yang sudah mengakar dalam sistem birokrasi di Negara kita, menjadi berbeda dengan lebih jujur dan mengatakan “TIDAK” untuk korupsi hanya membuat seseorang dikucilkan dari kelompok atau populasinya.

Di masyarakat kita, kegagalan masih sangat dihindari dan banyak orang cenderung memilih bermain aman dengan hidupnya daripada mengambil risiko yang lebih besar.

Mungkin akan lebih baik jika kita sedikit mengubah pola pikir semacam itu, jangan takut terhadap kegagalan dan anggaplah kegagalan sebagai pengalaman berharga dan pembelajaran yang memiliki nilai lebih dari sekadar uang.

Lihatlah di luar sana, banyak orang yang justru menjadi lebih maju dan berkembang dari setiap kegagalan yang pernah dialaminya.

Belajarlah dari Jepang, Negara ini mengalami kekalahan telak di Perang Dunia II dengan mengambil risiko besar berperang melawan negara-negara sekutu yang notabene-nya jauh lebih kuat dari mereka.

Mereka mungkin telah memperhitungkannya, kegagalan dari kekalahan telak pada perang tersebut membuat mereka bangkit hingga sekarang ini menjadi Negara maju dan memiliki pengaruh besar dalam bidang ekonomi dan teknologi di dunia.


4. Semakin Tua Cenderung Enggan Belajar

Di masyarakat kita banyak orang menganggap semakin tua cenderung enggan belajar. Mungkin kita banyak mendengar orang-orang tua yang berkata, “Saya sudah tua, susah kalau harus belajar urusan kayak gini mah”.

Nampak pula di dunia kerja, banyak orang cenderung semangat belajarnya menjadi hilang ketika telah mencapai usia tertentu atau ketika ia telah menduduki jabatan tinggi dalam suatu perusahaan.

Hanya sedikit orang yang walaupun usianya semakin bertambah memiliki pemikiran untuk terus belajar hal-hal baru atau memperdalam ilmunya sehingga dapat diterapkan dengan lebih baik di masyarakat.

Semakin tua, seseorang akan semakin sulit beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan serta cenderung kurang membuka pikirannya dan hanya berkutat pada pemikiran-pemikiran kuno.

Sehingga seiring waktu berjalan, mereka hanya bertambah tua dan tidak ada perubahan dalam dirinya yang begitu berarti.


5. Hanya Mengikuti Arus Tanpa Dapat Menciptakan Alurnya Sendiri

Budaya pendidikan di Negara kita cenderung menghasilkan para “penurut” ketimbang pemikir kreatif.

Sebab, seperti yang telah disampaikan pada poin pertama, bahwa kita cenderung berfokus pada sistem dan hasil, yang penting dapat nilai bagus, lulus, punya gelar, pekerjaan, dan gaji yang tinggi.

Mereka hanyalah para “penurut” yang hanya dapat mengikuti alur kehidupan kebanyakan orang tanpa bisa menciptakan suatu pemikiran kreatif untuk keluar dari jalur tersebut dan membuat jalurnya sendiri. Kita harus mampu untuk “out of the box”, dan menjadi pemikir yang liberal.

Janganlah Anda beranggapan bahwa liberalis dan kapitalis adalah hal yang sama dan identik dengan kebarat-baratan. SALAH BESAR.

Liberal dan kapital adalah dua arti yang berbeda. Liberal berarti membebaskan diri dan pikiran kita, sedangkan kapital artinya kekayaan atau modal. Sudah jelas bukan? Jadi jangan lagi Anda menganggap bahwa kapitalis dan liberalis adalah dua paham yang identik.

Kembali pada topik, kita harus bisa berpikir liberal dan membebaskan daya pikir, imajinasi, dan kemampuan untuk menciptakan sebuah karya yang lebih kreatif.

Jangan takut untuk keluar dari arus/sistem yang ada, memang kemungkinan “chaos” akan sempat terjadi dalam hidupmu, tapi hanya sebentar, dan hadapi dengan ketekunan serta konsistensi diri agar semua dapat berjalan dengan harapanmu.


6. Mental Para Penjajah Masih Melekat Dalam Budaya Pendidikan Kita

Sadarkah kita bahwa hingga saat ini, mental yang diwariskan oleh para penjajah masih melekat dan mendominasi dalam budaya pendidikan kita? Kekuasaan, uang, jabatan, masih sangat dominan dan menjadi ambisi bagi sebagian besar orang.

Sangat sulit bagi Anda yang memiliki pemikiran fresh dan kreatif untuk melakukan perubahan di lingkungan yang masih bermental penjajah ini.

Akhirnya, Anda pun akan ikut terjebak dalam pemikiran yang sama dikarenakan lingkungan masyarakat akan membentuk karakter dalam diri Anda sama seperti mereka yang bermental penjajah.


7. Takut Mencoba Hal-hal Baru

Kebanyakan orang akan mencari kepastian dengan menunggu orang lain melakukan sesuatu dan berhasil, tanpa ada keinginan untuk memulainya lebih dulu karena takut mengambil risiko kegagalan. Jarang yang berani menjadi orang pertama atau pioneer untuk melakukan suatu perubahan.

Masyarakat kita takut untuk melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan orang lain dan masih menganggap hal tersebut suatu yang mustahil sehingga tidak mungkin dilakukan hingga ada orang lain yang berhasil membuktikannya.


8. Jabatan dan Harta Lebih Dihargai Ketimbang Skill dan Intelektual

Banyak dari kita lebih menghargai orang dengan suatu jabatan, kekuasaan atau harta daripada menghargai orang dengan skill dan intelektual yang mumpuni.

Itulah mengapa banyak orang Indonesia yang pintar, kreatif dan mempunyai skill lebih memilih berkarir di luar negeri ketimbang di negeri sendiri.

Hal ini karena lingkungan kita kurang bisa menghargai mereka yang benar-benar mempunyai skill, dan kreativitas tersebut.

Menjadi boss atau manajer yang bodoh dianggap lebih baik ketimbang menjadi karyawan yang “excellence”.

Betapapun pintar dan kreatifnya seorang bawahan akan dianggap selalu lebih rendah dari seorang bos yang memiliki kekuasaan dan gaji yang lebih tinggi.

Meskipun secara ilmu dan skill, boss tersebut bisa saja lebih buruk dari bawahannya.


9. Mengukur Kesuksesan Hanya Dengan Kekayaan dan Kekuasaan

Kebanyakan di masyarakat kita mengukur kesuksesan dengan materi, uang, dan kekuasaan. Sementara arti kesuksesan yang lebih penting yaitu seberapa besar dirinya bisa bermanfaat untuk sesama menjadi tidak dipedulikan.

Bukan berarti uang dan kekuasaan itu tidak penting, tapi bagaimana orang tersebut bisa menggunakan uang dan kekuasaannya agar memiliki manfaat untuk orang banyak, itulah arti kesuksesan yang sesungguhnya.

Ketika kita mengukur sebuah kesuksesan hanya dengan materi, maka seumur hidup kita hanya akan digunakan untuk mengejar materi itu semata dan takkan pernah ada kata “cukup” sehingga kita akan semakin dibutakan dengan kekayaan.

Seorang ilmuwan terkemuka, Albert Einstein pernah berkata: “Strive not to be a success, but rather to be of value”.

Intinya, janganlah kita memfokuskan diri hanya untuk uang atau ketenaran semata, tapi fokuslah pada manfaat apa yang bisa diri kita berikan untuk orang-orang di sekitar kita, saat itu barulah kita akan sadar bahwa kesuksesan bisa datang dari tempat yang tidak terduga.

Kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan akan datang mengikuti dengan sendirinya ketika kita mampu memberikan sesuatu yang bernilai lebih kepada orang lain.

Jadi, di saat kita gagal menjadi kaya, gagal jadi orang berkuasa, atau gagal memiliki ketenaran, tak ada yang perlu disesali karena sesungguhnya kita telah sukses dengan menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.


Itulah kelemahan-kelemahan yang ada dalam budaya pendidikan di Negara kita pada umumnya. Mungkin tidak sepenuhnya benar, tapi tidak sedikit yang memang terjadi dan nyata di sekitar kita.

Artikel ini hanyalah sebuah opini dari realitas yang terbentuk oleh berbagai pemikiran yang kurang tepat dan telah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.

Semoga dapat membuka wawasan dan pemikiran kita tentang arti sebuah proses, makna dari kegagalan, dan ukuran dari sebuah kesuksesan.

Sehingga kita tidak terjebak lagi dalam sebuah arus, berani mencoba sesuatu yang baru, berani mengambil risiko, dan menjadi lebih bermanfaat untuk sesama.


Sumber:
http://www.kaskus.co.id/thread/5545159b118b4616308b456b/beberapa-sistem-pendidikan-yang-membuat-kita-sulit-berkembang-di-indonesia

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Beberapa Kelemahan Budaya Pendidikan Yang Membuat Masyarakat Sulit Berkembang"

  1. Bener juga ini. Seperti yang dikatakan Albert Einstein “Everybody Is A Genius. But If You Judge A Fish By Its Ability To Climb A Tree, It Will Spend Its Whole Life Thinking It’s Stupid.”
    Pendidikan kita lebih memandang nilai daripada 'skill' yang mereka miliki. Sehingga yang terjadi di negara ini adalah kurangnya tenaga ahli. Dan ketika negara ini memiliki tenaga ahli, mereka seperti tidak dihargai.

    BalasHapus