Tak Ada Yang Sehebat Ayahku
Kucoba membuka kembali memori itu. Memori tentang sosok pemimpin keluarga yang sangat tegas, berwibawa, dan memiliki sikap disiplin yang tinggi.
Kemandiriannya juga merupakan sifat yang sangat kukagumi dan ingin sekali kutanamkan dalam diri.
Tapi kini beliau telah tiada, seakan tak berdaya dan tiada kuasa aku mencegah kepergiannya. Inilah takdir Tuhan, ketika Ia telah berkehendak, maka tak ada mahluk yang dapat mencegah atau menghidar dari Nya.
Banyak hal kubanggakan dari figur ayahku dan aku ingin menulis itu.
Sebagai pengingatku agar senantiasa menyematkan namanya di setiap doa, dan memotivasi diriku untuk berusaha mewujudkan harapan serta cita-cita yang tak sempat dinikmatinya bersama keluarga.
Ayahku dilahirkan dari keluarga sederhana, namun cukup terpandang di kampungnya.
Kakekku yang seorang tokoh agama di Desa membesarkan dan mendidik ayah untuk menjadi pribadi yang disiplin dan prihatin dengan segala kondisi di sekitarnya terutama lingkungan keluarga. Inilah yang menumbuhkan sikap kemandirian dalam diri ayah.
Ketika telah menamatkan sekolah, ia pun memilih untuk merantau ke ibu kota. Dengan niat dan tekad ingin menjadi Tentara. Sering beliau bercerita bagaimana masa-masa sulit dulu ketika mendaftar Tentara.
"Dulu, Ayah waktu mau jadi Tentara nggak semudah yang kamu bayangkan. Malahan ayah pernah kerja jadi buruh bangunan dan kondektur bus buat ongkos jalan dan modal hidup selama proses pendaftaran, jangan kira ayah bisa seperti ini dengan gampang." Masih terngiang kisah-kisahnya sewaktu muda yang diselipkan jika sedang menasehatiku.
Waktu pun berlalu, sebagai garda terdepan pembela negara, hari-hari banyak dilalui di barak tentara. Melanglang buana menjalankan Tugas Negara.
Sampai kemudian Ayah bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi Ibuku. Cinta mereka berdua mulai bersemi di sebuah asrama militer di daerah Jakarta, berpacaran selama hampir 7 tahun, mematangkan niat mereka berdua untuk hidup bersama membina rumah tangga.
Kebahagiaan mereka bertambah dengan kehadiranku anak pertamanya. Aku tahu, mereka semua sangat menyayangiku.
Apalagi ayahku, setiap ada kesempatan beliau sering mengajakku ke kantornya di Mabesad. Senang sekali rasanya jika ayah mengajakku ke kantornya.
Melihat bapak-bapak tentara yang gagah dan kendaraan-kendaraan militer dengan bentuk yang unik. Teman-teman ayahku juga sangat ramah. Mereka sering menyapaku dan mengatakan aku sangat mirip dengan ayahku.
"Anak dan Ayahnya sama ya, sama-sama hitam." Canda salah seorang temannya ketika berpapasan dengan kami berdua.
Ayahku hanya tertawa, melihat ke arahku dan menyuruhku menyalami temannya itu. "Salim sama om sana." Katanya.
Ayah mempunyai caranya sendiri dalam mendidikku. Sejak kecil, aku selalu dibelikan barang-barang yang sebelumnya aku tidak mengerti cara penggunaannya walau pada akhirnya aku bisa menggunakan barang itu, tapi aku sempat tak mengerti apa maksudnya.
Baru setelah dewasa kumenyadari maksud dan tujuannya. Dia ingin memacu pola pikirku agar 'selalu berusaha untuk bisa'.
Misalnya saja, waktu awal aku masuk SMP ayah pernah membelikanku sebuah gitar padahal aku sama sekali tidak bisa bermain gitar, dan aku tahu kalau dia pun tidak bisa bermain gitar, tapi kemudian aku bisa dan sampai mahir memainkannya.
Lalu, dia pernah juga membelikanku seperangkat komputer, padahal aku sama sekali tidak bisa cara mengoperasikannya, dulu komputer masih termasuk barang mewah, di sekolah pun masih belum menjadi pelajaran pokok, hanya sebatas ekstrakurikuler.
Dan banyak lagi contoh yang lain. Beliau ingin aku jadi anak yang mandiri, anak yang selalu aktif belajar tentang sesuatu dan selangkah lebih maju dari teman-temanku. Memang menurutnya, aku ini anak yang tergolong cerdas.
Di sekolah pun aku selalu mendapat rangking 3 besar sejak Sekolah Dasar. Dia selalu dapat melihat potensi itu dalam diriku. Ayah selalu membimbingku ke arah yang benar dan mengajariku tentang banyak hal.
Umumnya sebuah keluarga, kesalahpahaman, ketidakcocokan pendapat, dan perbedaan cara pandang kerap terjadi.
Tidak jarang hal itu terjadi antara aku dan ayahku. Lingkungan pergaulan dan pendidikan mempengaruhi pembentukan karakter dan sifat yang berkembang dalam diriku. Aku boleh mengatakan kalau kami memiliki watak yang cenderung berbeda.
Diriku mulai tumbuh menjadi pribadi dewasa yang lebih luwes, fleksibel, toleran dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan serta tidak terlalu ingin memaksakan kehendak, walau kurasa pendapatku itu benar.
Sedangkan ayah, dia memang orang yang sangat tegas juga agak keras, sekali bilang 'tidak' maka dia tidak akan mengatakan 'iya', sikapnya cenderung otoriter, apa yang dikatakannya maka seperti sebuah perintah komando yang harus dilaksanakan oleh bawahannya.
Mulai timbul rasa ketakutan dalam diriku, aku merasa tertekan dan ingin rasanya aku terbebas dari semua pola kemiliteran yang ada dalam keluargaku.
Pernah kami bertengkar hebat, bahkan ketika ayah melayangkan tamparan ke pipiku, aku hampir saja melawan dan membalasnya.
Tapi untung saja tindakanku dicegah oleh ibu. Tak berapa lama, aku pun menyesalinya. Anak macam apa aku yang berani melawan orang tuanya?
Ada rasa bersalah dan ketidaknyamanan dalam hati. Beberapa hari kemudian, aku berlutut di hadapannya meminta maaf atas apa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.
Dengan penuh rasa penyesalan, kucium tangannya dan menangis di hadapannya. Aku tahu, walau beliau mempunyai watak yang keras tapi sesungguhnya beliau amat menyayangiku dan menyayangi ibu serta kedua adikku dengan sepenuh hati.
"Tidak apa-apa nak, ayah sudah memaafkanmu. Ayah juga minta maaf ya, selama ini ayah mungkin terlalu keras sama kamu." Ucapnya, sambil kemudian memelukku. Tak dapat lagi kubendung air mata yang basah di pipiku.
Ketika telah tiba ayahku di penghujung masa tugasnya sebagai tentara. Beliau pensiun, dan mulai menikmati banyak waktunya bersama keluarga.
Justru malah giliran aku yang kemudian jarang bisa membagi waktu bersamanya juga bersama keluarga.
Aku lebih disibukkan dengan pekerjaan, pergi pagi pulang petang. Bahkan ketika beliau mulai sakit-sakitan.
Sebenarnya penyakit ini sudah diketahuinya sejak lama sebelum beliau pensiun. Tapi beliau jarang memeriksakan diri, bahkan kami harus lebih memaksa untuk mengajaknya berobat di RS Korem Purwokerto.
Semakin lama, kondisi kesehatannya kian menurun. Bahkan terjadi komplikasi. Kami jadi sangat sering bolak-balik Rumah Sakit untuk chek up dan opname.
Bahkan Rumah Sakit seakan sudah menjadi rumah kedua bagi keluargaku. Tak ada perubahan, Tubuhnya malah semakin kurus, terlihat jelas tonjolan tulang-tulang dari balik kulitnya yang membungkus.
Aku jadi semakin prihatin, sedih bercampur sesal. Ayahku yang dulu begitu kuat dan gagah, kini hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Seandainya saja dulu aku dan ibu memaksa ayah lebih keras untuk sering berobat...
Dokter dari RSUD kemudian menyarankan kami untuk membawanya ke Rumah Sakit Umum Provinsi di Semarang.
Ayahku sempat dirawat selama hampir sebulan. Dari sini kemudian kami mulai merasa kian terpuruk, fokus kami tercurah hanya untuk kesembuhan ayah.
Kondisi rumah tidak terurus, pekerjaan terbengkalai dan jujur saja keuangan juga sudah terkuras, tapi kami tak peduli, satu-satunya harapan kami hanyalah melihat ayah bisa sembuh dan kembali seperti sedia kala.
Namun, harapan kami kian sirna ketika Dokter spesialis Rumah Sakit memberikan hasil diagnosa yang sangat mengagetkan aku dan ibu.
Komplikasi penyakit ayahku sudah sangat parah, dan nampaknya sudah tidak mungkin bisa disembuhkan.
Dokter malah menyarankan untuk merawatnya di rumah saja. Kami bisa mengerti maksudnya. Mungkin dia prihatin melihat keluarga kami jika ayah terus-terusan berada di sini namun tidak ada perubahan akan kondisinya ke arah kesembuhan.
Kami terima saran dokter dan membawa ayah pulang ke rumah. Tapi usaha kami tidak berhenti, berbagai macam pengobatan juga telah kami coba. Walau tetap tak ada perkembangan, kami belum juga menyerah dan tak ingin putus harapan.
Ketika itu bulan Ramadhan, 4 hari menjelang Idul Fitri. Kami membawa Ayah kembali ke Rumah Sakit, kondisinya kian kritis.
Kami sekeluarga terus berada di sampingnya, ditemani pula oleh om dan pakde. Beliau terus memanggil-manggil Ibuku dan menggenggam erat tangan Ibuku di dadanya, seakan tak ingin jauh dari wanita yang begitu sangat dicintainya.
Ibuku memang selalu menemani ayah di saat sakit, mengurus segala yang Ayah butuhkan, memandikan, menuntun kemanapun ayah pergi dengan penuh keikhlasan dan kesabaran tanpa lelah sedikitpun.
Sekilas, aku memandang Ibuku, Ia terus mengusap kening ayah, air mata tak berhenti meleleh di pipinya.
Tangis Ibu kemudian pecah ketika melihat dada ayah berhenti mengembang, seperti orang tertidur namun nafasnya telah terhenti.
Aku langsung berlari memanggil perawat yang kemudian datang disusul dokter jaga. Pagi itu, Ayahku telah tiada.
Hatiku begitu terpukul, menyaksikan bagaimana Ayahku tersayang direnggut oleh kematian di hadapanku. Tapi aku harus bisa mengikhlaskannya, mungkin Tuhan memang lebih sayang padanya.
Hingga hari ini, sudah beberapa bulan sejak kepergiannya. Aku masih selalu ingat jelas bagaimana sosok Ayahku.
Membayang jelas senyum ikhlas di hari-hari menjelang kepergiannya. Tak bisa ku tahan air mata, bodohnya aku tak menyadari kalau itulah hari-hari terakhir ku bersamanya.
Padahal masih banyak yang ingin kulakukan untuknya, dan banyak pula impian yang belum bisa kuwujudkan bersamanya.
Kita semua menyadari, tak ada orang yang sempurna di dunia ini. Semua orang pasti punya kelebihan dan kekurangan.
Begitu juga orang tua kita, tapi sudah menjadi kewajiban kita sebagai anak untuk memaklumi segala kekurangannya dan memaafkan segala kesalahannya, karena tak ada kasih sayang dan pengorbanan yang sungguh luar biasa selain apa yang telah orang tua lakukan untuk kita.
Kasih sayang mereka seakan tak terbatas untuk kita. Bahagiakanlah mereka sebelum akhirnya Sang Kholik menjemputnya di saat kita belum bisa memberi kebahagiaan untuk mereka, kemudian kita menyesalinya.
Ditulis pada Oktober 2013
Kemandiriannya juga merupakan sifat yang sangat kukagumi dan ingin sekali kutanamkan dalam diri.
Tapi kini beliau telah tiada, seakan tak berdaya dan tiada kuasa aku mencegah kepergiannya. Inilah takdir Tuhan, ketika Ia telah berkehendak, maka tak ada mahluk yang dapat mencegah atau menghidar dari Nya.
Banyak hal kubanggakan dari figur ayahku dan aku ingin menulis itu.
Sebagai pengingatku agar senantiasa menyematkan namanya di setiap doa, dan memotivasi diriku untuk berusaha mewujudkan harapan serta cita-cita yang tak sempat dinikmatinya bersama keluarga.
Ayahku dilahirkan dari keluarga sederhana, namun cukup terpandang di kampungnya.
Kakekku yang seorang tokoh agama di Desa membesarkan dan mendidik ayah untuk menjadi pribadi yang disiplin dan prihatin dengan segala kondisi di sekitarnya terutama lingkungan keluarga. Inilah yang menumbuhkan sikap kemandirian dalam diri ayah.
Ketika telah menamatkan sekolah, ia pun memilih untuk merantau ke ibu kota. Dengan niat dan tekad ingin menjadi Tentara. Sering beliau bercerita bagaimana masa-masa sulit dulu ketika mendaftar Tentara.
"Dulu, Ayah waktu mau jadi Tentara nggak semudah yang kamu bayangkan. Malahan ayah pernah kerja jadi buruh bangunan dan kondektur bus buat ongkos jalan dan modal hidup selama proses pendaftaran, jangan kira ayah bisa seperti ini dengan gampang." Masih terngiang kisah-kisahnya sewaktu muda yang diselipkan jika sedang menasehatiku.
Waktu pun berlalu, sebagai garda terdepan pembela negara, hari-hari banyak dilalui di barak tentara. Melanglang buana menjalankan Tugas Negara.
Sampai kemudian Ayah bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi Ibuku. Cinta mereka berdua mulai bersemi di sebuah asrama militer di daerah Jakarta, berpacaran selama hampir 7 tahun, mematangkan niat mereka berdua untuk hidup bersama membina rumah tangga.
Kebahagiaan mereka bertambah dengan kehadiranku anak pertamanya. Aku tahu, mereka semua sangat menyayangiku.
Apalagi ayahku, setiap ada kesempatan beliau sering mengajakku ke kantornya di Mabesad. Senang sekali rasanya jika ayah mengajakku ke kantornya.
Melihat bapak-bapak tentara yang gagah dan kendaraan-kendaraan militer dengan bentuk yang unik. Teman-teman ayahku juga sangat ramah. Mereka sering menyapaku dan mengatakan aku sangat mirip dengan ayahku.
"Anak dan Ayahnya sama ya, sama-sama hitam." Canda salah seorang temannya ketika berpapasan dengan kami berdua.
Ayahku hanya tertawa, melihat ke arahku dan menyuruhku menyalami temannya itu. "Salim sama om sana." Katanya.
Ayah mempunyai caranya sendiri dalam mendidikku. Sejak kecil, aku selalu dibelikan barang-barang yang sebelumnya aku tidak mengerti cara penggunaannya walau pada akhirnya aku bisa menggunakan barang itu, tapi aku sempat tak mengerti apa maksudnya.
Baru setelah dewasa kumenyadari maksud dan tujuannya. Dia ingin memacu pola pikirku agar 'selalu berusaha untuk bisa'.
Misalnya saja, waktu awal aku masuk SMP ayah pernah membelikanku sebuah gitar padahal aku sama sekali tidak bisa bermain gitar, dan aku tahu kalau dia pun tidak bisa bermain gitar, tapi kemudian aku bisa dan sampai mahir memainkannya.
Lalu, dia pernah juga membelikanku seperangkat komputer, padahal aku sama sekali tidak bisa cara mengoperasikannya, dulu komputer masih termasuk barang mewah, di sekolah pun masih belum menjadi pelajaran pokok, hanya sebatas ekstrakurikuler.
Dan banyak lagi contoh yang lain. Beliau ingin aku jadi anak yang mandiri, anak yang selalu aktif belajar tentang sesuatu dan selangkah lebih maju dari teman-temanku. Memang menurutnya, aku ini anak yang tergolong cerdas.
Di sekolah pun aku selalu mendapat rangking 3 besar sejak Sekolah Dasar. Dia selalu dapat melihat potensi itu dalam diriku. Ayah selalu membimbingku ke arah yang benar dan mengajariku tentang banyak hal.
Umumnya sebuah keluarga, kesalahpahaman, ketidakcocokan pendapat, dan perbedaan cara pandang kerap terjadi.
Tidak jarang hal itu terjadi antara aku dan ayahku. Lingkungan pergaulan dan pendidikan mempengaruhi pembentukan karakter dan sifat yang berkembang dalam diriku. Aku boleh mengatakan kalau kami memiliki watak yang cenderung berbeda.
Diriku mulai tumbuh menjadi pribadi dewasa yang lebih luwes, fleksibel, toleran dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan serta tidak terlalu ingin memaksakan kehendak, walau kurasa pendapatku itu benar.
Sedangkan ayah, dia memang orang yang sangat tegas juga agak keras, sekali bilang 'tidak' maka dia tidak akan mengatakan 'iya', sikapnya cenderung otoriter, apa yang dikatakannya maka seperti sebuah perintah komando yang harus dilaksanakan oleh bawahannya.
Mulai timbul rasa ketakutan dalam diriku, aku merasa tertekan dan ingin rasanya aku terbebas dari semua pola kemiliteran yang ada dalam keluargaku.
Pernah kami bertengkar hebat, bahkan ketika ayah melayangkan tamparan ke pipiku, aku hampir saja melawan dan membalasnya.
Tapi untung saja tindakanku dicegah oleh ibu. Tak berapa lama, aku pun menyesalinya. Anak macam apa aku yang berani melawan orang tuanya?
Ada rasa bersalah dan ketidaknyamanan dalam hati. Beberapa hari kemudian, aku berlutut di hadapannya meminta maaf atas apa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.
Dengan penuh rasa penyesalan, kucium tangannya dan menangis di hadapannya. Aku tahu, walau beliau mempunyai watak yang keras tapi sesungguhnya beliau amat menyayangiku dan menyayangi ibu serta kedua adikku dengan sepenuh hati.
"Tidak apa-apa nak, ayah sudah memaafkanmu. Ayah juga minta maaf ya, selama ini ayah mungkin terlalu keras sama kamu." Ucapnya, sambil kemudian memelukku. Tak dapat lagi kubendung air mata yang basah di pipiku.
Ketika telah tiba ayahku di penghujung masa tugasnya sebagai tentara. Beliau pensiun, dan mulai menikmati banyak waktunya bersama keluarga.
Justru malah giliran aku yang kemudian jarang bisa membagi waktu bersamanya juga bersama keluarga.
Aku lebih disibukkan dengan pekerjaan, pergi pagi pulang petang. Bahkan ketika beliau mulai sakit-sakitan.
Sebenarnya penyakit ini sudah diketahuinya sejak lama sebelum beliau pensiun. Tapi beliau jarang memeriksakan diri, bahkan kami harus lebih memaksa untuk mengajaknya berobat di RS Korem Purwokerto.
Semakin lama, kondisi kesehatannya kian menurun. Bahkan terjadi komplikasi. Kami jadi sangat sering bolak-balik Rumah Sakit untuk chek up dan opname.
Bahkan Rumah Sakit seakan sudah menjadi rumah kedua bagi keluargaku. Tak ada perubahan, Tubuhnya malah semakin kurus, terlihat jelas tonjolan tulang-tulang dari balik kulitnya yang membungkus.
Aku jadi semakin prihatin, sedih bercampur sesal. Ayahku yang dulu begitu kuat dan gagah, kini hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Seandainya saja dulu aku dan ibu memaksa ayah lebih keras untuk sering berobat...
Dokter dari RSUD kemudian menyarankan kami untuk membawanya ke Rumah Sakit Umum Provinsi di Semarang.
Ayahku sempat dirawat selama hampir sebulan. Dari sini kemudian kami mulai merasa kian terpuruk, fokus kami tercurah hanya untuk kesembuhan ayah.
Kondisi rumah tidak terurus, pekerjaan terbengkalai dan jujur saja keuangan juga sudah terkuras, tapi kami tak peduli, satu-satunya harapan kami hanyalah melihat ayah bisa sembuh dan kembali seperti sedia kala.
Namun, harapan kami kian sirna ketika Dokter spesialis Rumah Sakit memberikan hasil diagnosa yang sangat mengagetkan aku dan ibu.
Komplikasi penyakit ayahku sudah sangat parah, dan nampaknya sudah tidak mungkin bisa disembuhkan.
Dokter malah menyarankan untuk merawatnya di rumah saja. Kami bisa mengerti maksudnya. Mungkin dia prihatin melihat keluarga kami jika ayah terus-terusan berada di sini namun tidak ada perubahan akan kondisinya ke arah kesembuhan.
Kami terima saran dokter dan membawa ayah pulang ke rumah. Tapi usaha kami tidak berhenti, berbagai macam pengobatan juga telah kami coba. Walau tetap tak ada perkembangan, kami belum juga menyerah dan tak ingin putus harapan.
Ketika itu bulan Ramadhan, 4 hari menjelang Idul Fitri. Kami membawa Ayah kembali ke Rumah Sakit, kondisinya kian kritis.
Kami sekeluarga terus berada di sampingnya, ditemani pula oleh om dan pakde. Beliau terus memanggil-manggil Ibuku dan menggenggam erat tangan Ibuku di dadanya, seakan tak ingin jauh dari wanita yang begitu sangat dicintainya.
Ibuku memang selalu menemani ayah di saat sakit, mengurus segala yang Ayah butuhkan, memandikan, menuntun kemanapun ayah pergi dengan penuh keikhlasan dan kesabaran tanpa lelah sedikitpun.
Sekilas, aku memandang Ibuku, Ia terus mengusap kening ayah, air mata tak berhenti meleleh di pipinya.
Tangis Ibu kemudian pecah ketika melihat dada ayah berhenti mengembang, seperti orang tertidur namun nafasnya telah terhenti.
Aku langsung berlari memanggil perawat yang kemudian datang disusul dokter jaga. Pagi itu, Ayahku telah tiada.
Hatiku begitu terpukul, menyaksikan bagaimana Ayahku tersayang direnggut oleh kematian di hadapanku. Tapi aku harus bisa mengikhlaskannya, mungkin Tuhan memang lebih sayang padanya.
Hingga hari ini, sudah beberapa bulan sejak kepergiannya. Aku masih selalu ingat jelas bagaimana sosok Ayahku.
Membayang jelas senyum ikhlas di hari-hari menjelang kepergiannya. Tak bisa ku tahan air mata, bodohnya aku tak menyadari kalau itulah hari-hari terakhir ku bersamanya.
Padahal masih banyak yang ingin kulakukan untuknya, dan banyak pula impian yang belum bisa kuwujudkan bersamanya.
Kita semua menyadari, tak ada orang yang sempurna di dunia ini. Semua orang pasti punya kelebihan dan kekurangan.
Begitu juga orang tua kita, tapi sudah menjadi kewajiban kita sebagai anak untuk memaklumi segala kekurangannya dan memaafkan segala kesalahannya, karena tak ada kasih sayang dan pengorbanan yang sungguh luar biasa selain apa yang telah orang tua lakukan untuk kita.
Kasih sayang mereka seakan tak terbatas untuk kita. Bahagiakanlah mereka sebelum akhirnya Sang Kholik menjemputnya di saat kita belum bisa memberi kebahagiaan untuk mereka, kemudian kita menyesalinya.
Ditulis pada Oktober 2013
0 Response to "Tak Ada Yang Sehebat Ayahku"
Posting Komentar