Bidang Pertanian akan Mengalami Krisis Tenaga Kerja
image: |
Sebenarnya agak canggung juga karena yang hadir ternyata kebanyakan adalah orang-orang tua alias mereka yang telah sepuh.
Dan biasanya seusai acara yasinan dan tahlil, para jamaah diberi suguhan ala kadarnya dari tuan rumah sambil melakukan obrolan-obrolan santai yang memang tujuannya dari acara ini selain mendoakan almarhum yang baru saja meninggal dunia, dan sarana mempererat silahturahmi, juga sedikit bisa menghibur anggota keluarga yang ditinggalkan agar tidak larut dalam duka dan kesedihan.
Yah, terlepas dari benar atau tidaknya acara tersebut bila ditelaah dari hukum Islam. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Baca juga: Tips Ringan Berkendara yang Sering Dianggap Sepele Oleh Pengemudi
Namun, ada sesuatu yang menarik dari obrolan para orang tua yang sebagian besar mereka adalah petani itu, ada salah seorang yang melontarkan gurauan. Kira-kira inti gurauannya seperti ini:
“Saya bingung. Saya ini kan petani, tapi anak-anak saya kok enggak ada yang mau membantu saya di sawah ya? Coba bapak-bapak pikir, mana ada anak sekarang yang mau disuruh bekerja di sawah? Anak anda juga pasti juga begitu toh? Padahal suatu saat nanti saya pasti akan semakin tua dan tak mampu lagi bekerja di sawah. Selain itu, umur manusia kan juga terbatas. Mungkin sebentar lagi entah kapan waktunya, saya juga pasti akan dipanggil oleh Sang Pencipta.”
Kemudian ada salah seorang lagi yang menimpali, “Iya, ya. Betul juga. Nanti kalau kita mati siapa yang akan meneruskan untuk menggarap sawah? Paling-paling nanti nyuruh orang untuk menggarapnya dengan memberi upah. Tapi sama juga nantinya malah keluar biaya lagi.”
Sementara ada lagi yang lain ikut nimbrung, “Duh, kalau begitu suatu saat nanti orang yang mau berprofesi jadi petani semakin habis nih? Ini berarti pertanian akan mengalami krisis pekerja. Hahaha.” Gelagaknya sambil tertawa renyah.
Terlintas dalam benakku sesuatu yang menarik untuk di telusuri. Saya jadi teringat akan artikel yang pernah ditulis dalam blogku tentang jumlah profesi petani di Indonesia yang setiap tahunnya mengalami penurunan cukup tajam.
Pada artikel tersebut kerugian yang dialami petani lah yang menjadi inti dari penyebabnya sehingga mereka memilih untuk beralih profesi.
Namun, ada beberapa poin penting yang menjadi indikator kenapa petani terus mengalami kerugian, di antaranya karena semakin besarnya biaya operasional untuk pertanian, kurangnya sarana infrastruktur, serta sulitnya mendapatkan pupuk dan bibit yang bersubsidi.
Nah, dari obrolan para petani di acara tahlilan tersebut ternyata menambah wawasan baru dalam pikiranku. Ya, ternyata masalahnya lebih kompleks dari sekedar yang terpikirkan.
Bila negeri kita yang makmur dengan kekayaan alam yang berlimpah ini banyak masyarakatnya menggantungkan hidup dari pertanian, mengapa justru begitu kurangnya minat orang yang ingin berprofesi sebagai petani?
Terutama di kalangan usia muda. Jarang sekali orang muda yang menggeluti profesi sebagai petani. Malahan, anak dari para petani justru tidak jarang yang lebih memilih menjadi buruh bangunan daripada jadi petani.
Kebanyakan petani adalah mereka yang berusia tua dan mungkin secara pemikiran dan tenaga sudah berkurang produktivitasnya.
Bayangkan saja, para orang tua itu di tengah teriknya matahari berada di sawah, mencangkul, untuk bekerja sekedar bisa mendapatkan rezeki untuk menyambung hidup.
Sedangkan mereka kalangan usia muda produktif justru malah memilih bekerja dengan segala kenyamanan di dalam kantor dan ruangan ber-AC dan menghabiskan banyak waktu kerjanya dalam posisi duduk?
Mungkin bagi anda itu suatu yang lumrah, karena profesi seseorang memang ditentukan karena faktor pendidikan juga. Tapi, bagi saya itu sebuah ironi (walau agak terkesan munafik).
Karena sebenarnya ada image dalam pikiran kita yang ‘gengsi’ kalau harus bekerja menjadi seorang petani. Betul enggak?
Petani sangat identik dengan kemiskinan, “kapan kita bisa kaya kalau hanya jadi petani?”. Pasti kebanyakan dari kita akan berpikir seperti itu. Sungguh malang memang nasib para petani, tidak adakah gelar yang lebih ‘pantas’ untuk mereka selain menjadi simbol dari kemiskinan?
Entah, mungkin banyak yang menganggap kalau profesi petani ini mempunyai derajat sosial yang rendah.
Atau mungkin juga karena pemahaman tersebut sudah tertanam dalam sistem pendidikan kita sejak dini?
Coba lihat di sekolah-sekolah, mulai dari SD, SMP sampai SMA, apakah ada dalam kurikulum pendidikan kita mata pelajaran Pertanian dan Perkebunan?
Atau ekstrakurikuler bercocok tanam misalnya? Setahu saya itu tidak pernah ada.
Menurut pendapat saya, pendidikan tentang pertanian, perkebunan serta bercocok tanam itu sangat penting ditanamkan sejak dini.
Bukan hanya untuk memberikan pengetahuan dan keahlian mereka di bidang pertanian. Tapi yang lebih esensial adalah bagaimana menanamkan dalam image anak-anak sejak usia dini bahwa bertani itu bukan sesuatu yang ‘memalukan’ untuk dikerjakan.
Saya mempunyai keyakinan walaupun agak sedikit masygul, bahwa dengan adanya pendidikan tentang pertanian yang diajarkan di sekolah sejak dini menjadi sesuatu yang mungkin kalau suatu saat bisa meningkatkan derajat kaum petani.
Dengan adanya pemahaman yang baik tentang pertanian di usia dini tentunya para calon-calon pemimpin masa depan ini sedikit banyak akan mempunyai keinginan untuk bisa memajukan pertanian di negeri ini.
Kalau saya boleh memberi sedikit penekanan di bagian akhir dari tulisan ini bahwa maksud saya menulis begini bukan untuk merendahkan atau semakin mengkerdilkan profesi seorang petani.
Tetapi saya punya keinginan untuk bisa menggunggah wawasan dan image anda tentang profesi petani.
Karena sebenarnya profesi mereka adalah profesi yang bagi saya sangat mulia. Paling tidak, dari tulisan ini dapat menyentuh ruang batin anda tentang pemahaman bahwa “petani itu identik dengan kemiskinan” bisa sedikit berubah.
0 Response to "Bidang Pertanian akan Mengalami Krisis Tenaga Kerja"
Posting Komentar